Original Story
Malam ini adalah malam ke-12 aku ada di tempat ini. Masih sama seperti malam-malam kemarin. Dingin dan sunyi. Kutengadahkan kepala mencoba mencari wujud sang rembulan yang sedang purnama.Tapi yang kudapati hanya berkas cahaya yang meyusup mencoba menembus tempatku kini berada. Ah,,tiba-tiba aku teringat ibu. Sebulan yang lalu kami masih bercanda di bawah cahaya rembulan. Bertanya tentang kegiatanku di sekolah atau sekedar duduk sambil membelai rambutku. “Aku rindu padamu bu!!!!” Aku menjerit semampu yang kubisa namun alam tetap tidak bergeming. Suara Jangkrik, semilir angin….semuanya telah pergi menjauh dariku. Dan ibu……, ibu juga mungkin sudah bahagia di atas sana. Memulai kehidupan barunya dan melupakanku.
Pelan-pelan kutundukkan kepala. Baru kusadari ini semua salahku. Aku yg terlalu egois dan tidak peduli terhadap perasaan wanita yg telah melahirkanku. Masih segar dalam ingatanku apa yang terjadi 12 hari lalu. Malam disaat ibu memanggilku dan meminta izin untuk menikah kembali. Meski Om Imam adalah pria yg baik dan hal ini sudah kuduga bakal terjadi, tetap saja aku tidak bisa menerima. Aku marah pada ibu. Aku menudingnya sudah tidak sayang lagi padaku, dan aku memecahkan semua apa yang ada di sekitarku.
“brakkkkk!!” terdengar suara pintu yang kubanting dengan keras di belakangku. Namun bagiku itu belum cukup melampiaskan kekesalanku. Gadis berusia 13 tahun yang sedang naik darah. Pun bahkan suara ibu yang mencoba menghentikanku tidak lagi kuhiraukan. Tujuanku cuma satu saat itu. Pergi jauh dari rumah, sejauh-jauhnya meski hanya dengan menggunakan sepeda. Satu-satunya transportasi yang kugunakan setiap hari ke sekolah di desa yang terbilang sunyi ini.
Nafasku mulai tersengal-sengal seolah berlomba dengan sepeda yang kukendarai. Waktu sudah menjelang tengah malam dan jalan yang kulalui semakin mendaki. Entah kenapa rasa takutku terus menguap seiring airmata yang semakin deras mengalir di pipiku. Di kepalaku tak henti-hentinya terngiang ucapan ibu. “Ibu menikah lagi bukan berarti menghianati almarhum ayahmu, nak!!”.
“Ibu jahat!!!!!!!” teriakku mencoba menghalau dengungan suara ibu di kepalaku. Deburan ombak dari jurang di samping jalan yang kulewati tak mampu meredam kemarahanku yang sudah mencapai puncaknya. Hingga ketika tiba di tikungan jalan…..dari arah berlawanan muncul sebuah kendaraan berkecepatan tinggi dengan sorot lampunya yang menyilaukan mata.
“aahhhhhhhhhhhh……!!!!!!!” kembali teriakanku menggema di alam.
“aahhhhhhhhhhhh……!!!!!!!” kembali teriakanku menggema di alam.
Aku tersadar dari lamunanku. Kini…. pelan-pelan terdengar isak tangisku. Isak tangis penyesalan karena tidak dapat lagi melihat ibu dan meminta maaf kepadanya. Sekarang aku benar-benar sendirian. Malam ini, malam ke-12 aku berada di dasar laut ini, aku berharap ibu datang dan menemukanku.
Posting Komentar untuk "Penyesalan"