Original Story : Wilda
Namanya “puncak”. Meski sebenarnya aku belum yakin sudah ada yang pernah sampai ke puncak bukit itu. Kurang lebih dua jam setiap harinya aku menghabiskan waktuku di puncak. Tempat itu terkenal akan batu-batunya yang besar. Di bulan Ramadhan seusai shalat subuh, puncak selalu ramai didatangi masyarakat sekitar terutama remaja dan anak-anak hanya sekedar untuk melihat sunrise.
Berbekal buku brain-based teaching favoritku dan ipod serta sebotol minuman dan sebatang coklat, kukayuh sepedaku dengan santai. Semilir angin menerpa wajahku. Menerbangkan lembut ujung-ujung jilbab ungu muda yang kukenakan. Keringat menetes ketika aku tiba di pendakian.Bahkan aku tak pernah bisa sampai ke tempat favoritku, tanpa harus menuntun sepeda kesayanganku.
“Aaihhhh…” pekikku tertahan. Entah dari mana tiba-tiba seekor Katak hijau melompat di dekat kakiku. Hampir saja akumenginjaknya. Sedikit berlari kutuntun sepedaku menuju batu tempat aku biasa duduk membaca sambil rebahan. Bagiku, Katak adalah hewan paling menjijikkan sedunia. Tubuhnya yang hijau dan berlendir membuatku geli melihatnya. Aneh, ditempat seperti ini ada Katak?. Meski Pak Azikin, guru IPAku di sekolah berkata bahwa Katak memiliki peran penting dalam rantai makanan, namun kebencianku terhadap amfibi itu tidaklah berkurang. Pun bahkan ada dongeng bahwa Katak adalah jelmaan seorang pangeran tampan. Bah…tidak sudi aku memberikan kecupan meski pangerannya adalah pria tertampan di dunia.
Akhirnya sampai juga. Seperti biasa dengan sedikit bersenandung, aku berjalan menuju “singgasana”ku. Namun langkahku terhenti karena di batu itu sudah ada seorang gadis berbaju hijau lumut duduk memunggungiku. Kepalanya tertunduk sementara tangannya seperti sedang sibuk menuliskan sesuatu. Dengan canggung kuhampiri dirinya dan berdehem mencari perhatian. Mendengar suara batukku yang jelas 100% dipaksa, dia menolehkan kepalanya dan tersenyum.
“Boleh aku duduk disitu?” pintaku meski dalam hati aku memaksa harusnya gadis itu yang mengucapkannya.
“Oh maaf,,aku tidak tahu kalau ini tempatmu” sahutnya seolah mengetahui isi hatiku.
“Tidak apa-apa” ahh akhirnya aku merasa tidak enak hati juga. Aku mengambil tempat duduk di sisi kiri gadis berambut hitam lebat itu.
“Namaku Midori. Keluargaku baru pindah seminggu lalu”. Midori memperkenalkan diri sambil menatapku lekat-lekat. Saat itulah aku sadar, Midori memiliki mata yang berbeda dari anak-anak disini. Matanya biru seperti air laut. Begitu dalam dan bening. “Cantik..” Jawabku tanpa sadar tapi Midori sudah terlanjur menanggapi sebagai pujian untuk namanya. “terserahlah”. Jawabku dalam hati. Toh memang itu sebuah pujian.
Dalam kurun waktu yang singkat aku dan Midori telah menjadi teman dekat. Setiap hari kami menghabiskan waktu 2 jam bersama di puncak berdiskusi tentang berbagai hal atau kadang hanya datang untuk rebahan sambil menatap langit saja. Orangtua Midori memang bukan orang Jepang tapi kenalan ayahnyalah yang orang Jepang memberikan nama Midori kepadanya. Soal mata birunya, katanya itu sebuah “kelainan”. Sangat menyenangkan bagiku punya teman seperti Midori. Bukan karena hanya dialah teman dekatku sekarang, tapi baru kali ini aku menemukan seorang gadis yang hampir seolah hidupnya dipenuhi dengan keceriaan. Berbeda dengan gadis-gadis zaman sekarang yang hidupnya terlalu didramatiskan. Hanya sekali kulihat wajahnya cemberut ketika kuceritakan ketidaksukaanku terhadap Katak, Kodok dan sebangsanya. Maklumlah Midori adalah gadis pencinta binatang. Bahkan termasuk binatang yang hampir merenggut nyawanya. Ya, Midori hampir mati digigit Ular. Dengan bangga diperlihatkannya bekas gigitan Ular di pahanya. “Mukjizat Tuhanlah yang menyelamatkanku” katanya. Tapi ada satu hal yang menurutku terlalu konyol dan membuatku tergelak ketika dengan polosnya Midori mengatakan bahwa sama nyamuk pun dia suka. Kecintaan macam apa itu? Tapi itulah uniknya Midori sahabatku.
Suatu hari Midori mengatakan bahwa dia ingin menceritakan sesuatu yang penting kepadaku.
“Aku ingin kamu menerima apa adanya diriku” ucapnya sambil tetap menatapku lekat-lekat seperti yang pertama dilakukannya.
Aku terdiam. Kuhargai kepercayaan sahabatku ini. Tapi bukan cara yang baik jika kuminta dia menjelaskannya sekarang. Meski penasaran, toh memang dia sudah berniat mengatakannya padaku. Kutunggu ucapan selanjutnya sambil mencoba menerka hal penting apa yang ingin diceritakan. Apakah ini soal mata birunya, apa soal keluarganya? Ah aku barusadar belum pernah sekalipun Midori membahas lebih detail keluarganya. Selalu saja ada topik lain yang membuatku lupa menanyakan hal itu. Bahkan pulang bersama pun belum pernah.
“Rumahku dekat kok” tolaknya suatu hari saat kuajak pulang bersama. Jari telunjuknya mengarah ke sebuah rumah hijau kecil di pojok perumahan dekat dengan hutan yang seingatku tidak pernah kulihat ada di sana.
“hahaha warnanya sehijau daun mungkin jadi gak pernah kamu perhatikan” katanya tergelak begitu kusampaikan protesku tentang eksistensi rumah kecilnya.
“Baiklah aku pamit duluan” akhirnya kutinggalkan Midori seorang diri dan berjanji akan bertemu dengannya lebih awal sejam besoknya.
“teng…teng…teng……” jam berdetak sebanyak 3x. Aku tersentak dan terbangun, mendapati kenyataan bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Waktu yang aku janjikan untuk bertemu Midori. Bergegas aku menuju kamar mandi, mencuci muka dan berganti pakaian. Saat itulah kulihat sesuatu yang berwarna hijau tua dengan 2 mata menonjol melompat mendekati kakiku “aaahhhh……” Refleks aku berteriak dan melompat ke kursi dekat jendela kamarku. Geram bercampur geli tanpa sadar kulepas sandal yang kukenakan dan melayangkan ke arah Katak kecil hijau di depanku. “plak…..” tepat mengenai kaki belakangnya. Cukup keras menurutku untuk mematahkan kakinya. Benar saja lompatan Katak itu mulai tidak stabil. Entah ini perasaanku atau bagaimana, Katak itu seolah menatapku. Mulutnya sedikit terbuka. Begitu hendak melompat kembali ke arahku, untuk kedua kalinya kulempar mahluk jelek itu dengan sandal yang satunya. Yes!! Dewi Vortuna di pihakku. Kembali sendalku mengenai bagian punggungnya. Akibatnya fatal dan sebenarnya diluar dugaanku. Katak itu terdiam. Rasa jijikku membuatku tidak berani mendekatinya. Katak hijau itu mati ditanganku. Ada sedikit perasaan menyesal. Tapi toh itu hanya seekor binatang. Dan lagi, rumah bukan tempat hewan seperti itu.
Sadar bahwa aku sudah terlambat 10 menit, dengan perasaan jijik segera kuambil skop sampah dan sapu di halaman.Tergesa-gesa kubuang bangkai Katak itu di semak-semak di samping rumah. Keringat mengucur lebih deras saat kupacu sepedaku di pendakian. Baru pertama kali ini kulakukan mengayuh sepeda di pendakian. Aku tidak ingin membuat sahabatku menunggu lama. Namun apa yang kubayangkan tidak seperti kenyataannya. Midori tidak duduk di batu itu seperti biasa. Hanya ada sepucuk surat yang ditindih dengan batu berukuran sedang agar tidak terbang dibawa angin. Kuambil surat itu dan merasakan bahwa kertasnya sedikit lembab. “sepertinya diletakkan sejak semalam” ucapku dalam hati.
Dear Shita.
Ketika kamu baca surat ini, aku bahkan tidak tahu seperti apa keadaanku sekarang. Aku terlalu senang bisa berteman denganmu sehingga tidak sabar menunggu untuk bertemu denganmu di hari ini. Aku memutuskan menyusulmu kerumah. Tidak perduli apapun taruhannya. Aku hanya ingin kamu mengenalku apa adanya. Bukan sebagai Midori yang kamu kenal selama ini. Tapi kenyataannya yang paling mungkin adalah bahwa kamu memang tidak siap untuk mengenalku. Pesanku padamu…bukan hanya manusia yang ingin dihargai. Bukan hanya manusia yang mengalami sakit. Kami juga seperti itu.
Salam,
Midori
Posting Komentar untuk "緑 - MIDORI"