14 Blood Orchids (A Psycopath Love Story)

Setiap manusia memiliki sisi jahat dan baik dalam dirinya. Maka belajarlah mengendalikan sisi jahat itu agar tidak sampai keluar. Jangan pernah bermain api atau kamu akan terbakar di dalamnya.

Kejadian ini terjadi 14 tahun yang lalu namun seolah baru kemarin aku melihatnya. Jangan pernah kalian melakukan hal seperti yang sudah aku lakukan dulu.

Rabu, 8 Juli 1998
Puluhan siswa dengan seragam baru memadati beberapa area. Hari ini masa orientasi diakhiri dengan pembagian kelas.
“Kelas Ib. Tidak masalah” Gumamku kecil begitu mendapati namaku berada di urutan ke 11 di dalam daftar. Meski tubuhku mungil tapi tidak sulit mencari namaku di antara 35 nama yang tertera disitu. Harap maklum saja aku terlahir dengan nama yang terbilang cukup panjang bahkan tidak muat di LJUN SMP ku 2 bulan lalu.

“Kita pisah kelas ya. Sayang sekali..” Tiba-tiba terdengar suara seorang gadis yang sudah sangat akrab di telingaku. Aku menoleh. Lira, Dita dan Hera sudah berada disisiku.
“Eh..iya. Sayang sekali”  jawabku datar meski sepenuhnya memang benar-benar tidak masalah bagiku. 

Sejak SD sampai SMP aku memang memiliki 3 sahabat. Bahkan sedari kami masih kecil. Berempat kami selalu bersama. Prestasi kami di kelas juga sama. Berganti-ganti kami menempati posisi peringkat 1-3 di kelas. Ini tetap berlangsung hingga kami tamat SMP. Tapi ada satu hal yang membuat perbedaan. Di antara kami berempat hanya akulah yang memiliki wajah yang tergolong standar sedangkan ketiga temanku boleh dikatakan gadis-gadis tercantik di sekolah. Mereka sempurna, aku tidak. Maka jadilah aku di dalam kelompok tanpa nama ini sebagai anak bawang dan hanya mengikuti keinginan ketiga temanku.  Kenyataan bahwa aku berada di kelas yang berbeda dengan mereka saat ini kujadikan momentum untuk berubah. Aku harus bisa lepas dari bayang-bayang teman-temanku. Kecantikan bukanlah yang utama. Toh aku masih memiliki kepandaian yang sama dengan mereka.   

Senin, 5 Juli 1999
Tepat setahun sejak aku masuk disekolah ini. Kini aku telah menjadi salah satu pengurus OSIS dan menjadi panitia orientasi siswa baru. Dari sekian banyak siswa kelas I hanya aku dan seorang temanku dari kelas Ic yang masih tergolong muda dalam struktur kepengurusan. Dan coba tebak, 3 temanku sama sekali tidak dinominasikan. Ada kemenangan tersendiri untukku. Ah,,,masa-masa di SMA memang seindah perkataan orang-orang.

 “Kak….tanda tangannya dong!!”
Layaknya selebriti para junior berkerumun meminta tanda tangan. Ini memang agenda tahunan kegiatan orientasi. Menguji mental dan tekad siswa untuk mendapatkan apa yang  diinginkan. Sambil berjalan ke arah Lira, Dita dan Hera aku membubuhkan tanda tangan kilat ke buku-buku junior yang mengejarku dengan antusias.
“Wah macam selebriti aja kamu Ra” Dita meledekku. Ada nada iri dalam suaranya.
“Enak ya jadi panitia orientasi. Bisa ngerjain adik kelas” Hera menimpali.
Aku cuma tersenyum. Aku tidak berpikir sampai kesitu. Jangankan mengerjai adik-adik kelas. Bahkan berhadapan dengan mereka aku masih gugup. Ini kali pertama aku berada di depan orang banyak. Pura-pura marah pun seperti panitia yang lain aku tidak bisa. Entah atas dasar apa Ketua OSIS memilihku menjadi “mitra kerjanya” di organisasi sekolah yang bergengsi ini. Apa karena tahun lalu aku terpilih sebagai siswa teladan selama masa orientasi? Hem,,,berarti aku tidak salah. Sekarang mengandalkan kecantikan bukan zamannya. Sekali lagi aku tersenyum penuh kemenangan.

Seiring waktu, pamorku di sekolah semakin bertambah. Entah karena usiaku yang sudah remaja atau pengaruh lingkungan baruku. Tak lama setelah debut pertamaku di OSIS, aku pun mulai melebarkan kegiatanku di organisasi lain. Menjadi anggota ambalan pramuka salahsatunya. Bahkan ini lebih menarik minatku dibanding OSIS. Di organisasi ini, kepercayaan diriku dipupuk dan perasaan canggung dan pemalu yang kumiliki sejak dulu perlahan sirna. Sekarang kemana pun aku melangkah, selalu penuh dengan kepercayaan diri. Namun seperti halnya orang kebanyakan yang baru merasakan berada di puncak tertinggi, aku mulai lupa diri. Disaat remaja seusiaku  mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis, aku justru menganggapnya sebagai hal remeh remaja putri yang tidak memiliki kegiatan lain. Sekarang aku menjadi idola. Tidak terhitung lagi berapa remaja putra dari junior hingga senior yang mencoba menarik simpatiku. Namun semuanya kuanggap angin lalu. Aku merasa mereka tidak sepadan denganku. Dan tentu saja mereka hanya ingin memanfaatkan pamorku yang sedang bersinar di sekolah saat ini. Sehingga tanpa sadar terciptalah kriteria pemuda idamanku. Harus lebih pintar dariku, sepadan dalam komunikasi dan memiliki ketertarikan yang sama denganku. Kriteria itu menuntunku pada satu sosok yang selalu menghabiskan jam istirahatnya di perpustakaan. Itulah Kak Angga. Jatuh cinta? Tentu saja tidak. Aku tidak berharap menghabiskan masa mudaku dengan pacaran yang arahnya tidak jelas mau kemana. Tapi Kak Angga benar-benar membuatku kagum. Sosoknya yang tenang, dingin, caranya berkomunikasi membuatku melihat 2 sosok dalam satu raga. Angel and Demon. Entah kenapa aku suka itu. Sosok manusia yang bisa menjadi iblis kapan saja. Sehingga butuh pengendalian diri tingkat tinggi agar iblis itu tidak menjadi penguasa. Seperti kata pepatah, “jangan disangka air tenang tidak berbuaya” . Kak Angga betul-betul seperti Phoenix dimataku. Apinya mematikan, namun airmatanya penawar racun. Kemarahannya seperti mampu membakar sekolah, tapi cara berbicaranya begitu menenangkan hati.

Jum’at, 20 Agustus 1999
Diperpustakaan kulihat Kak Angga dikerumuni beberapa gadis kelas sebelah. Ada sedikit perasaan marah. Tapi aku bukanlah mereka. Aku dikejar, bukan mengejar. Dengan santai aku menuju ke meja Bu Tia, pegawai perpustakaan sekolahku. Kukembalikan 2 buku tentang budaya Jepang dan Korea yang kupinjam 3 hari lalu. Tanpa melihat ke arah kak Angga yang sepertinya asyik menjelaskan tentang metamorfosis Kupu-kupu, aku menuju ke meja tempat tas kuletakkan tadi. Namun ada yang salah. Seingatku tas ransel kesayanganku kutinggal dalam keadaan tertutup. Tapi kali ini agak sedikit terbuka. Dengan sedikit curiga, kubuka tasku lebar-lebar dan kutemukan sepucuk surat di sana. Kepalaku berputar mencoba mencari pelakunya di ruangan ini. Namun nihil. Semuanya tampak punya alibi. Menghindari tatapan pengunjung yang merasa kuperhatikan, bergegas kutinggalkan tempat itu dan menuju pohon Flamboyan tepat di belakang perpustakaan.

To : Dara

Aku harap kamu tidak kaget mendapati surat ini datang tiba-tiba padamu.Sudah lama aku memperhatikanmu. Kamu berbeda dengan yang lainnya. Kamu pantas didapatkan. Dan percayalah, akulah yang tepat untukmu. 

Salam
Secret Admirer

“Surat cinta” gumamku pendek. Ini memang bukan pertama kalinya aku menerima surat cinta dari yang bersifat kaleng sampai terang-terangan. Kalau kuhitung-hitung, ini yang ke-14. Tapi ini surat cinta yang terlalu pendek. Terlalu percaya diri dan ada unsur pemaksaan.

Dengan santai kuremas dan kulemparkan surat itu di tempat sampah bersamaan bunyi bel masuk berbunyi. Sambil bersenandung kecil kutinggalkan tempat itu tanpa menyadari dari jauh seseorang memperhatikanku dengan sorot mata tajam.

Jum’at,22 Oktober 1999
2 bulan sejak surat pertama dari secret admirer, sudah 8 surat yang kutemukan dalam tasku. Aku mulai merasa terganggu namun tidak tahu seperti apa harus membalasnya. Tidak pernah ada nama asli pengirim. Tapi ada satu kesamaan. Surat itu selalu tiba-tiba muncul di tasku di hari Jum'at. Sepertinya aku diawasi total di sekolah. Akhirnya kutemukan sebuah cara.

Jum’at,29 Oktober 1999
Hari ini sengaja kubuat balasan untuk surat minggu lalu dan kusimpan dalam tasku. Berharap dia menemukannya ketika mencoba menaruh surat lagi di tasku. Awalnya iseng namun disinilah mimpi burukku terjadi. Isinya cukup singkat.

Dear Secret Admirer
Memilikiku? Siapkan 14 Anggrek Darah

Tentu saja itu permintaan konyol. Anggrek darah kan spesies langka. Mana ada di sini. Sama aja meminta Sang Kuriang membuat perahu dalam semalam. Tapi inikan iseng saja. Selesai kerja bakti, kutemukan surat itu menghilang. Sebagai gantinya terdapat sepucuk surat yang dibuat tergesa-gesa.

To : Dara
Jangan meremehkanku nona. Kupenuhi permintaanmu

Aku hanya tersenyum sinis. “Coba kalau bisa” Tantangku dalam hati. Hari ini berjalan lancar seperti biasa.
“Dara! Ada rapat ambalan sebentar sore” terdengar suara dari kakak kelas idolaku. Yap, kak Angga adalah ketua Ambalan putra periode tahun lalu. Hanya disaat ada kegiatan pramuka kami biasa berkomunikasi.

Rabu, 3November 1999
Suasana menjadi kelabu di sekolah. Raf ketua kelas, menghampiriku dan berbisik pelan “tadi pagi kak Ilham ditemukan tewas di kamarnya. Bunuh diri”. Seperti ada petir menggelegar di telingaku. Kak Ilham bunuh diri? Hari itu beberapa siswa perwakilan OSIS termasuk aku berangkat melayat. Dari cerita yang kudengar Kak Ilham mengiris nadinya hingga tewas kehabisan darah. Jujur aku sangat kehilangan. Kak Ilham cukup dekat denganku.

Kamis,11 November 1999
Seminggu setelah kasus bunuh diri kak Ilham. Meski sempat masuk koran lokal namun seiring waktu kehidupan kembali berjalan normal hingga horor kembali menghampiri.

Sabtu,13 November 1999
2 teman seangkatanku ditemukan tewas di kamarnya masing-masing persis seperti kak Ilham. Duka kembali melanda sekolahku tercinta. Sekali lagi pihak kepolisian bertandang di jam-jam belajar. Mulai beredar isu bahwa ada yang tidak beres dengan siswa-siswa sekolah kami. Pihak sekolah utamanya BP dan Kesiswaan mulai melakukan kegiatan pembinaan mental rutin. Apalagi di TV saat itu tengah marak isu-isu bunuh diri remaja seusia kami. Mereka khawatir kami jadi korban TV.  Aku mulai merasa tidak nyaman. Beberapa kali aku mulai bolos rapat kegiatan dan memilih menyendiri. Mengapa orang-orang yang kukenal baik bisa tewas dengan cara seperti itu.

Rabu,17 November 1999
Dan seolah malaikat maut sedang memilih sekolahku sebagai poskonya berturut-turut terjadi lagi hal yang sama. 4 siswa dari kelas berbeda, juga tewas dirumahnya masing-masing. Keadaan mulai tidak kondusif lagi. Tragedi ini bahkan sudah menjadi isu nasional. Polisi semakin intensif datang ke sekolah menangani kasus yang seumur-umur belum pernah terjadi di daerah yang bahkan kasus pencurian saja jarang terjadi. Beberapa orangtua mulai bertindak ekstrim. Anak-anak mereka dipindahkan karena sekolah dianggap gagal membina siswa.

Jum’at,19 November 1999
Tepat disaat polisi menyelesaikan interogasinya terhadap beberapa teman kelasku bahkan termasuk aku, tergopoh-gopoh Pak Kepala Sekolah menyampaikan bahwa ada kabar bunuh diri serupa dari 3 sekolah lain. Tak tanggung-tanggung totalnya mencapai 7 siswa dan terjadi dalam semalam. Seolah mereka telah membuat kesepakatan bersama. Aku makin shock saat Kepala sekolah menyebutkan satu persatu nama siswa tersebut. Saat itulah aku merasa ada yang janggal.
“Ini tidak wajar lagi!!!!” jeritku dalam hati. Bagaimana bisa 14 kematian melibatkan siswa laki-laki yang semuanya kukenal. Ini betul-betul aneh. Aku sadar sesadar-sadarnya ada yang salah. Aku yakin itu meski polisi mungkin belum menyadarinya.

Begitu bel pulang berbunyi, segera kuraih tasku. Tidak kuhiraukan kak Angga yang sempat kulihat tersenyum manis padaku. Tujuanku satu. Mencari tahu semua hal yang berhubungan dengan kematian itu. Entah bagaimana caranya. Aku hanya mampir di rumah untuk meminta izin pulang terlambat hari ini. Bahkan aku tidak sempat berganti baju meski ibu sudah mengingatkan. “Tidak ada waktu lagi” ujarku.  Hari itu kudatangi rumah teman-temanku yang tewas satu-persatu. Tidak ada yang curiga. Bagi mereka aku hanyalah teman yang datang mengucapkan bela sungkawa.

Petualanganku akhirnya berakhir tepat saat matahari mulai tenggelam. Melewati sekolahku yang kebetulan tak jauh dari rumah terakhir yang kudatangi, aroma ketidakberesan tercium. Ada yang kulewatkan di kelas pagi ini. Aku baru ingat ini hari Jumat. Aku baru sadar surat itu sudah tidak pernah ada lagi sejak kubalas dengan permintaan konyolku. Tapi perasaanku bilang ada sesuatu yang berbeda dengan isi tasku pagi ini. Interogasi tadi pagi memang membuatku tak sempat mengobok-obok tasku seperti biasa sebelum pelajaran dimulai. Dengan jantung yang berdegup kencang pelan-pelan kubuka tas ranselku. Ada amplop merah terselip di dalam. Kubuka perlahan dan di bawah temaram lampu jalan, kudapati 14 foto dengan gambar yang hampir sama. Perutku seketika mulas dan aku berharap saat itu tidak pernah dilahirkan ke dunia begitu kutahu gambar apa itu. Itu adalah gambar pergelangan tangan ke 14 kawanku. Bukan darah yang membuatku ingin muntah melihatnya namun gambar yang terukir disana. Gambar yang terukir kasar dengan pisau silet dan sejenisnya. Gambar yang tidak kuinginkan lagi menjadi salahsatu bunga kesukaanku. Itu adalah gambar Anggrek. Anggrek yang meneteskan darah. Gambar itu menjadi Anggrek darah. “Ya Tuhan….!!” Pekikku tertahan. Kakiku  serasa mati rasa mendapati kenyataan mengerikan itu. Namun belum sempat kengerian itu menjadi teriakan histeris, dari belakang kudengar suara bisikan lembut. Suara yang begitu kukenal. Suara orang yang paling kukagumi di sekolah.
“Sudah kubilang kan, aku bisa memenuhi permintaanmu”. Tubuhku menjadi kaku. Kupejamkan mataku tanpa berani menoleh ke sumber suara tersebut. “Secret Admirer itu tidak mungkin dia..!!!tidak mungkin!!!” Jeritku dalam hati. Akhirnya,,,,, semua menjadi gelap gulita.

Based on true story
Luv u all my friends

Posting Komentar untuk "14 Blood Orchids (A Psycopath Love Story)"