Daun-Daun Merah

Original Story by : Wilda

Pada beberapa kasus, beberapa orang mengatakan tidak tahu apa-apa dapat menyelamatkan hidupmu. Bagiku hal itu tidak berlaku. Tidak mengetahui apa yang terjadi tepat di depan hidungku membuat diriku kini berada dalam neraka. Selamanya…….

Namaku Akiko. Umur 18 tahun. Aku tinggal di Yamaguchi hanya berdua dengan kakak perempuanku sejak orangtua kami tewas dalam sebuah insiden kecelakaan 4 tahun lalu. Hidupku tidak cukup beruntung. Aku terlahir dengan penglihatan yang tak sempurna. Duniaku sangatlah buram. Setiap objek hanya tampak seperti gumpalan-gumpalan yang berwarna. Dokter bilang aku terkena Astigmatisma. Meskipun ada kacamata khusus untuk pasien sepertiku yang sudah disiapkan, namun aku lebih memilih menyimpannya. Ya, aku tidak ingin melihat dunia lagi seperti ketika terakhir kali melihat ayah dan ibu meregang nyawa di depan mataku.

Hari ini kembali aku duduk di teras belakang rumah, menikmati warna merah daun-daun Maple. Dan seperti biasa akan ada lebih banyak lagi daun Maple yang menutupi hampir setiap jalan di desa ini jika musim gugur mencapai puncaknya. Aku menghela napas panjang. Maple di rumah tidak lagi gugur tepat pada waktunya. Daun-daun merah akan memenuhi pekarangan sebelum Momojigari dilangsungkan. Ada rasa sesak memenuhi rongga dada. Mungkin Momojigari kali ini akan terlewati lagi. Tidak ada ayah dan ibu. Kakakku, seperti biasa akan mengurung diri di kamar. Memilih melewati hari dengan setumpuk buku pelajaran.

“Ai…bangun..” . Samar-samar terdengar suara seseorang di telingaku. Rupanya aku tertidur di kursi sejak sore tadi. Segalanya sudah tampak gelap. Temaram lampu teras tidak cukup membantu penglihatanku. Kakak membimbingku masuk ke kamar, melanjutkan tidur dan berharap tidak bermimpi seperti tadi. Ya, barusan aku bermimpi kakakku datang dengan wajah bersimbah darah. Anehnya, dia tidak merasa kesakitan sama sekali.

Keesokan harinya aku terbangun oleh semerbak wangi chestnut panggang. Segera setelah mandi, aku berjalan menuju ruang tengah, menonton berita atau lebih tepatnya mendengarkan berita di TV hari ini. Seperti biasa kakak kembali ke kamar setelah menyiapkan makanan untukku. Pintunya terkunci rapat dari dalam. Dengan bosan kuganti-ganti channel TV. Akhirnya aku melangkah mencoba menghabiskan sisa waktu di teras belakang. Sepertinya pohon Maple telah merontokkan daun-daunnya semalam. Warna merah darah hampir memenuhi tanah.

“Oh jangan lagi itu” ucapku pelan. Di kejauhan, di pinggir sungai, kerumunan orang semakin banyak. Dan apabila aku sudah terpaku, kakak akan datang dan mengatakan bahwa ada mayat membusuk ditemukan di sungai. Seorang pria muda, dengan dada berlubang besar. Ginjal serta hatinya menghilang. Aroma kematian datang terbawa angin hingga di tempatku  berdiri. Samar-samar bau amis darah tercium dan membuatku bergidik ngeri. Mayat pertama di musim gugur tahun ini.

Ini tahun ke-3 mayat busuk selalu ditemukan di sungai. Desa Mitake tak pernah lagi bergembira jelang musim gugur. Horor berkembang di antara penduduk desa yang mengatakan bahwa Onibaba, hantu wanita tua pemakan manusia tengah berkeliaran di desa kami. Tapi aku tidak percaya. Tentu saja karena Onibaba hanyalah legenda di Adachigahara.

Dengan langkah lesu aku kembali ketempat duduk semula. Mataku menatap ke halaman, mencoba menghitung setiap helai Maple yang berserakan. “1..2..3…….31…32……45……………..” Aku pun tertidur sebelum sempat menyelesaikan hitunganku.

Kegelapan kembali menyelimuti alam. Angin dingin menerobos masuk melalui setiap jendela yang tidak tertutup. Sesosok tubuh berdiri terpaku tepat di dekat pintu. Mungkin memandangku sejak dari tadi.
“Kamukah itu kak?”  Tanyaku pelan sedikit takut. Namun sosok itu hanya diam membisu. Kuraba dinding dan menyalakan lampu. Dan…itu memang benar kakak. Dengan hampir sekujur tubuhnya berwarna merah bahkan menggenangi lantai.

“A..a..a..a..a………..!!!!”. Aku terbangun dan mendapati diri masih berada di kursi. Semuanya masih seperti tadi. Suasana gelap dan tidak ada kakak. Aku menyalakan lampu dan memandang ke arah kamarnya. Sedikit terbuka di sana. Sayup-sayup terdengar suara senandung. Kali ini berasal dari kamar itu. Kamar yang sudah sekian lama tertutup dan hanya kakak yang tahu seperti apa di dalam. Dan,,, tiba-tiba aku tahu harus melakukan apa.

Kini aku berada di jendela kamar kakak. Tubuhku terasa lebih dingin dan kaku. Aku mengerang dalam hati mengapa aroma amis itu justru lebih tajam dalam kamar ini. Dalam penglihatanku yang tidak sempurna, kulihat daun Maple kembali berguguran. Namun bukan itu yang membuatku tertegun. Ada sesuatu di atas sana. Sesosok tubuh dan…sesosok tubuh lagi. Perlahan kurogoh saku bajuku. Kuambil benda yang selama ini hanya jadi penghuni kotak di mejaku. Kacanya mungkin tidak sejernih saat pertama kali dokter memberikannya padaku. Namun agtismatismaku tidak mungkin menghalangi apa yang kulihat tepat di hadapanku. Di sana, di atas pohon tampak kakak perempuanku dengan mata merah menyala sambil bersenandung yang siapapun mendengarnya dapat membuat bulu kuduknya merinding, sedang mengoleskan sesuatu serupa cat merah ke setiap lembar daun yang dipetiknya. Dalam diam aku tertanganga menyaksikan wadah cat merah itu adalah sosok tubuh lain yang terkulai tak bernyawa dengan dada berlubang besar dan entah darimana aku dapat memastikan ginjal dan hatinya tidak berada lagi di tempatnya.

Posting Komentar untuk "Daun-Daun Merah"